BvSvW oleh: wanulk

Sekarang ini adalah era yang sangat menyenangkan bagi comic-book enthusiast di seantero jagad. Bagaimana tidak? Dalam hampir dua dekade ke belakang, entah sudah berapa banyak film-film adaptasi dari komik yang muncul ke permukaan. Tidak semua memuaskan memang. Tapi beberapa sanggup melewati ekspektasi dan bisa diterima, tidak hanya di kalangan pecinta komik, juga kalangan penonton kasual.

Pada tahun 2016 ini, Batman v Superman: Dawn of Justice keluar sebagai kick-start project dari DC Entertainment –yang sudah ketinggalan kereta jauh dari Marvel— untuk memulai cinematic universe-nya sendiri. BvS yang disutradarai oleh Zack Snyder (300, Watchmen, Man of Steel) ini bukanlah sekedar film, tapi juga merupakan event besar bagi pecinta film superhero, sebab di sinilah akhirnya dipertemukan dua ikon pop terbesar dari komik superhero; Batman dan Superman. Tentu saja ini menimbulkan hype dan antusiasme yang tinggi. Personally, I wanted this film to be good, because, at heart, I’m a big fan of both Batman & Superman. Lantas, apakah BvS dapat menjawab segala ekspektasi besar yang tersemat di pundak kekar kedua tokoh ini? (halah)

Akhirnya semuanya terjadi juga. BvS dimulai dengan narasi Bruce Wayne (Ben Affleck), disertai dengan montage trauma masa kecilnya –yang sudah sering kita lihat berulang kali di film-film Batman sebelum ini– dan juga adegan klimaks dari Man of Steel; pertarungan antara Superman (Henry Cavill) dan General Zod (Michael Shannon). Adegan awal ini mungkin dimaksudkan untuk  setting keseluruhan tone dari filmnya. Namun pada perjalanannya, ternyata terjadi inkonsistensi, dengan adegan-adegan yang ada terasa seperti tambal sulam saja. Struktur penceritaannya tidak teratur dan malah menjadi cenderung berantakan, sehingga paruh awal BvS terlihat tidak fokus, membingungkan, dan bertele-tele.

Duet penulis Chris Terrio – David S. Goyer seolah kesulitan untuk meramu plotnya secara tepat. Dengan aim yang sangat ambisius untuk memulai expanded universe dari DC cinema, membuat kesemua yang ingin diceritakan terlihat bertumpuk dan pada akhirnya terasa sesak sekali. Treatment dari Snyder pun tidak banyak membantu dalam penuturan serta penerjemahan ceritanya ke layar. Ada banyak yang ingin diceritakan, ada banyak yang ingin dituturkan, tapi dengan durasi ‘hanya’ 150 menit tidaklah cukup untuk membangun sesuatu yang telah dibangun oleh rival, Marvel, bahkan dalam beberapa film. Inilah yang membuat karakter-karakter utama dalam filmnya sendiri tidak mempunyai ruang yang cukup untuk bernafas dan berkembang dengan baik untuk mengakrabkan diri dengan penonton.

Belum lagi soal intrik dan konflik yang ada. Semua terasa kentang dan tidak tereksplor dengan baik, akibat dari struktur yang tidak jelas tadi. Isu-isu yang sebelumnya sudah came up malah terlewat begitu saja. Hal ini mengakibatkan motivasi karakternya pun menjadi kabur dan pada akhirnya konflik pun dimunculkan dengan penyebab yang terasa sangat artifisal serta konyol. Lah, penulis skenarionya saja terlihat tidak terlalu yakin dengan penyebab kenapa Batman dan Superman bisa jadi berseteru, bagaimana untuk meyakinkan penonton?

Di luar semua komplain saya di atas, sebetulnya masih ada hal-hal baik yang bisa sedikit memaafkan itu semua. Paruh kedua film ini sebenarnya terasa lebih baik dari paruh awal yang terasa draggy dan confusing. Adegan klimaksnya (well, both of them) pun disajikan dengan cukup baik dengan visual signature khas Zack Snyder.

Satu yang paling saya sukai adalah pembawaan dari masing-masing aktor dan aktris untuk masing-masing karakternya. Cavill semakin matang baik sebagai Supes atau Clark Kent. Beberapa momen dramatis (terutama percakapan antara Clark dan Martha Kent di teras rumah) dapat bekerja dengan baik di layar lewat akting solid darinya. Ben Affleck, yang sebelum ini sangat diragukan dan casting-nya dianggap kontroversial untuk seorang Bruce Wayne/Batman, malah mengalahkan semua ekspektasi buruk terhadapnya. Dia berhasil membawakan Bruce Wayne tua yang rapuh dan penuh amarah, juga pembawaannya sebagai Batman bisa dibilang cukup baik (walau ada satu detail dalam versi Batffleck yang saya kurang suka, tapi itu mungkin lebih ke kesalahan Snyder). Dan yang paling keren tentu saja Gal Gadot sebagai Diana Prince yang menjadi scene stealer di setiap adegan dimana dia berada. Scene presence-nya sebagai Wonder Woman sangat luar biasa mewah and it WILL give you the chills. Even Jesse Eisenberg sebagai Lex Luthor ‘alternatif’pun tidak terlalu buruk menurut saya. Paling tidak, menurut saya tidak se-annoying yang beberapa orang tuduhkan. Oh, and you gotta love Jeremy Irons’ Alfred. He’s like the coolest Alfred on screen.

Selain itu, BvS masih bisa menyuguhkan beberapa nod cukup bagus ke beberapa source material dan cerita komik ikonik dari kedua karakter utama film ini (mulai dari The Dark Knight Returns dan The D**** of Superman). Yah, walaupun beberapa ada berasa keluar konteks dan ‘dimasuk-masukin aje’, tapi bisa juga memunculkan beberapa geeky moment yang cukup exciting.

All in all, Batman v Superman: Dawn of Justice mungkin bukanlah merupakan sebuah home run dari upaya DC ini memulai cinematic universe-nya. Toh, paling tidak, dengan perolehan Box Office yang masih mentereng, kepastian sekuel masih tetap terjaga. Nah, disitulah DC mesti berupaya menemukan cara untuk memperbaiki kesemuanya agar cinematic universe-nya bisa bernafas panjang. Either way, it’s still a very watchable flick with enough excitement. Tak usah terlalu dengar beberapa review keras dari kritikus (termasuk yang abal-abal macam saya, hahaha). Tonton saja, nikmati pengalamannya, dan nilai sendiri filmnya. Ciao.

08d16d4567f303c46f16a66041eca2f620352f4b

Producers: Charles Roven & Deborah Snyder Writers: Chris Terrio & David S. Goyer Music: Hans Zimmer & Junkie XL Cinematographer: Larry Fong Editor: David Brenner Director: Zack Snyder Cast: Ben Affleck, Henry Cavill, Gal Gadot, Jesse Eisenberg, Amy Adams, Diana Lane, Laurence Fishburne, Jeremy Irons, Holly Hunter, Scott McNairy

 

Score: B-

 

adegan-film-a-copy-of-my-mind_20150822_120415oleh: wanulk

Berbicara tentang perkembangan sinema Indonesia paska 2000an, tentulah nama Joko Anwar tidak bisa dipisahkan. Sineas asal Medan ini sudah cukup banyak menelurkan beberapa karya eksentrik yang cukup variatif berdasarkan genre-nya. Toh, ini tentu saja bukan sekedar gaya-gayaan, mengingat film-film besutan Jokan–walaupun jarang yang sukses secara komersil–mendapat respon yang cukup positif dari banyak kritikus film lokal maupun internasional. Kali ini, Jokan kembali dengan film panjang kelimanya yang berjudul A Copy of My Mind.

A Copy of My Mind berfokus pada kehidupan karakter perempuan bernama Sari (Tara Basro), seorang pekerja pada salon kecantikan dari kalangan kelas menengah kebawah yang tinggal di daerah kos sumpek padat penghuni di pinggiran kota Jakarta. Sari adalah orang yang simple. Ini semua pun bisa dilihat dari bagaimana ia menjalani kehidupan sehari-hari (bangun, berangkat kerja, pulang, lalu tidur, kemudian bangun lagi esok paginya). Tapi di luar itu, Sari ternyata seorang penggemar film, secara spesifik terinci ke–dengan meminjam kata-katanya sendiri–“film makhluk-makhluk”. Di sela-sela aktivitasnya sehari-hari, ia meluangkan waktu untuk sekedar mampir ke lapak-lapak DVD bajakan di daerah pecinaan. Sekadar menonton film dari DVD bajakan sambil makan Indomie rebus di dalam kamar kosannya yang remang, se-simple itulah definisi hiburan bagi Sari. Mimpinya pun tidak muluk; yaitu mempunyai home theater yang merupakan miliknya sendiri.

Lewat kegemarannya ini jugalah, Sari akhirnya bertemu dengan Alek (Chico Jericho), seorang lelaki urakan yang berprofesi sebagai pembuat teks terjemahan untuk DVD bajakan. Ketidakpuasan Sari atas kualitas teks terjemahan ‘karya’ Alek itulah yang menjadi pemicu timbulnya interaksi perdana yang melibatkan kedua karakter utama film ini. Seiring mereka menghabiskan waktu bersama, munculah kedekatan serta keterikatan antara Sari dan Alek, yang kemudian ‘diresmikan’ lewat keintiman yang tidak bisa lagi terhindarkan.

Kehadiran Alek tentunya membuat kehidupan Sari lebih berwarna. Kehidupan simple Sari kini jauh lebih berarti; dengan Alek yang berada di sisinya, juga tempat bekerja barunya yang terlihat lebih menjanjikan daripada yang sebelumnya. Namun semua itu tidak bertahan lama. Berawal dari manifestasi keimpulsifan Sari demi hobinya saat ia bekerja, pasangan ini lantas terjebak dalam konspirasi besar perpolitikan negara yang busuk dan carut-marut.

Di film terbarunya ini, Jokan terlihat agak bersabar. Mengambil separuh durasi film untuk memperkenalkan tokoh-tokohnya dengan pendekatan personal lewat visual dari kehidupan sehari-hari yang dijalani mereka–terutama Sari–, seems like he takes his time… Well, a bit too much actually. Serangkaian adegan yang dimaksudkan untuk menjadi sarana introduksi subtle karakternya terasa sangat panjang dan bertele-tele. Ketidaklugasan dalam bertutur inilah yang sedikit banyak mengakibatkan pace filmnya agak terasa dragging di paruh awal. Even kedua karakter utamanya pun tidak bertemu sampai hampir separuh film ini berjalan.

Dan kalo ditelisik lagi, sebenarnya memang tidak banyak juga yang bisa diceritakan pada bagian itu. There’s not much too tell, selain tentu saja perkenalan yang kelewat keasyikan tersebut. I mean, not for that length of duration. Oke, mungkin rangkaian scene tersebut, with all that raw raciness, dimaksudkan untuk menangkap sisi lain kaum marginal Jakarta, dan pada pelaksanaannya memang cukup berhasil. But what’s the point? To be edgy on purpose? And at what cost?

Barulah ketika filmnya masuk ke paruh kedua, semuanya lebih agak sedikit membaik. Sub political thriller yang diselipkan merupakan salah satu hal paling menarik yang ada di film ini dan juga membuatnya lebih hidup. Namun lagi-lagi ada eksekusi yang saya rasa kurang pas. Terutama menyoal pilihan-pilihan karakternya. Sebagai film yang character-driven seperti ini, sangat sulit untuk menganggap serius plotnya ketika karakter-karakternya melakukan suatu hal yang kurang bisa diterima logika ceritanya sendiri. Akibatnya, konflik yang ada terasa agak artifisial, terkesan sepele, dan jatuh ke ranah klise.

Toh, di luar itu semua penampilan bagus kedua pemain utamanya, Tara Basro dan Chico Jericho bisa sedikit membantu. Mereka berdua terlihat kuat di layar, baik saat berada sendiri, maupun ketika membagi scene-nya berdua lewat chemistry yang cukup apik. Apresiasi juga patut diberikan kepada sutradara Joko Anwar yang dapat mengarahkan pemainnya sehingga interaksi antar semua karakter di film ini, baik tokoh utama ataupun tokoh sampingan, bisa terasa natural dan tidak canggung. Juga bagaimana dia bisa membuat adegan penutup film ini terasa poetic sekaligus tragis, dan sedikit banyak memberikan koneksi terselubung terhadap judul filmnya.

All in all, A Copy of My Mind might be my least favorite flick from the director’s CV. Tapi untuk segmentasi tertentu, mungkin saja film ini dapat bekerja dengan lebih baik. So, judge it for yourself.

poster-a-copy-of-mind-cj.jpg
Producers: Tia Hasibuan, Uwie Balfas Writer: Joko Anwar Editor: Arifin Cu’unk Cinematography: Ical Tanjung Director: Joko Anwar Cast: Tara Basro, Chico Jericho, Maera Panigoro, Paul Agusta, Ario Bayu

 

 

 

interbmc
oleh: wanulk

Interstellar adalah sebuah film fiksi ilmiah bertema perjalanan antariksa arahan sutradara asal Inggris Christopher Nolan. Film yang ia tulis bersama dengan saudara laki-lakinya, Jonathan Nolan, ini turut juga dibintangi oleh Matthew McConaughey, Jessica Chastain, Anna Hathaway, Michael Caine, Casey Affleck, John Lithgow, dan lainnya.

Interstellar mengambil setting waktu di masa depan yang tidak terlalu jauh, di sebuah daerah perkebunan Texas. Ada sebuah keluarga mantan pilot pesawat ulang alik NASA yang kini berprofesi sebagai petani, Cooper (Matthew McConaughey). Pada masa di mana dunia tengah dilanda kelaparan masal akibat perubahan iklim di bumi dan tanah yang tidak lagi subur sehingga tidak bisa ditumbuhi oleh makanan pokok apapun kecuali jagung yang menyebabkan keberadaan umat manusia diambang kepunahan. Suatu ketika, sebuah anomali ‘gravitasi’ di kamar anak perempuannya, Murphy (MacKenzie Foy), membawa Cooper menemukan koordinat pangkalan rahasia milik NASA yang sedang menjalankan sebuah proyek rahasia khusus di bawah pimpinan Professor Brand (Michael Caine).

Proyek khusus ini merupakan proyek perjalanan antariksa untuk mencari dunia baru yang dimungkinkan oleh muncul dan terbukanya sebuah wormhole di dekat sabuk cincin Saturnus. Karena reputasinya sebagai pilot antariksa handal, Cooper ditawari untuk ikut serta dalam misi perjalanan mencari dunia baru ini. Demi memberikan secercah harapan baru bagi umat manusia, Cooper bersedia untuk melaksanakan misi tersebut dan rela berpisah dengan kedua anaknya, termasuk Murphy kecil yang tak rela ditinggal pergi oleh ayahnya. Maka kemudian dimulailah perjalanan Cooper bersama 3 kru lain, termasuk anak perempuan Prof. Brand, Amelia (Anna Hathaway), menjadi awak pesawat penjelajah Endurance untuk mencari dunia baru yang bisa dijadikan tempat tinggal umat manusia selanjutnya.

Dengan premis yang cukup solid, diisi nama besar aktor-aktris langganan nominasi berbagai penghargaan, juga tentu saja melihat CV dari sang Sutradara sendiri, tentu saja Interstellar sudah banyak memunculkan hype bahkan jauh sebelum peredarannya. Apakah Interstellar sanggup menjaga reputasi, yang dibangun jauh sebelum rilis, saat pada akhirnya film tersebut sudah tayang? Bagi saya pribadi, ada dua cara paling simpel untuk melihat Interstellar. Pertama lewat logic, yang diwakili oleh  ‘time‘ & ‘gravity‘. Yang kedua, emotion, yang diwakili oleh ‘love‘.

Film dibuka dengan sangat solid dengan adegan pengenalan dan background cerita yang sangat efektif. Durasi yang sebenarnya cukup lama sama sekali tidak terasa karena flow-nya sangat enak untuk diikuti. Fondasi film dibangun dengan teori-teori fisika yang membuat film ini masih terkesan ilmiah, logis dan tidak memasuki ranah khayalan terlalu jauh. Dialog-dialognya cerdas, dengan balutan beberapa teori astrofisika yang disederhanakan penyempaiannya, namun tidak over-simplified terlalu jauh. Semuanya tidak terasa terlalu rumit sehingga masih bisa diikuti, bahkan untuk penonton yang sebenarnya awam terhadap materi tersebut. Set up dari plot yang ada menjadi fondasi yang kuat dan cukup berhasil memunculkan gambaran dari ide besar yang dibawa dan coba disampaikan oleh film ini.

Selesai dengan berbagai macam perkenalan dan set up, plot bergerak di saat yang tepat dan setelanya meluncur dengan cepat. Penonton hanya disisakan sedikit waktu untuk bernafas dalam melewati perjalanan di ruang hampa udara. Segala macam intrik dan konflik berlapis dibuka dengan bertahap dengan level kesulitan yang selalu naik dan makin menarik dalam perjalanannya, sangat khas Nolan.

Namun, melewati paruh kedua, ada berbagai rangkaian twist yang entah kenapa tidak terlalu efektif dan kurang klop masuk ke dalam filmnya sendiri. Sampai pada akhirnya reveal dari segala misteri yang telah dibangun di awal justru terasa lempeng-lempeng saja dan tidak ‘sebesar’ pertanyaan dari ‘ide besar’ yang dibawa sepanjang film. Nolan biasanya selalu mampu untuk wrap things up in a very most exciting way. Tapi, entah kenapa di Interstellar, sihirnya terasa agak sedikit berkurang.

Nah, sekarang coba kita lihat dari sisi lain. Secara emosi dan rasa, Interstellar jauh melampaui apa yang telah dicapai oleh film-film Nolan terdahulu. ‘Love’ (atau cinta) di film ini, yang menurut Amelia Brand adalah sebagai salah satu bentuk kekuatan yang umat manusia tidak bisa jelaskan, menjadi benang merah penghubung dari drama yang ada. Diwakili lewat dinamika hubungan antara Ayah dan anak, serta upaya melewati galaksi untuk menemukan seseorang yang dicinta sebagai dua topik besar dalam film diantara side plot kecil lain yang juga di dasari oleh hal serupa. Film ini sangat kokoh secara emosi dan berhasil mengaduk-aduk perasaan sepanjang pemutarannya (well, at least for me). Personally I think, comparing to any other Nolan’s movies, Interstellar has the biggest heart of all.

Satu lagi kekuatan Interstellar tentu saja adalah dari segi visual. Christopher Nolan yang kali ini didampingi Hoyte Van Hoytema di bidang sinematografi dapat memberikan sebuah pengalaman yang sangat luar biasa bagi para penontonnya lewat visualisasi perjalanan antariksa yang terlihat sangat riil dan menegangkan. Bukan sebagai kekuatan utama seperti film (yang mengaku) sci-fi akhir-akhir ini, tapi lebih sebagai pendukung plotnya sendiri untuk bisa tersampaikan dengan lebih baik. Saya tak bisa hitung lagi ada berapa momen yang bikin merinding ketika mengikuti perjalanan kru Endurance melewati galaksi.

Selain itu, deretan A-List Actors and Actress di film ini turut membuat film ini jauh menjadi lebih kuat, tidak sekedar menjual nama saja. Matthew McConaughey sangat baik sebagai aktor utama di film ini dan membawa kedalaman tertentu ke karakter Cooper. Begitupun chemistry-nya dengan Mackenzie Foy sebagai Murphy kecil yang penampilan keduanya sebagai Ayah dan Anak akan membuat hati kita tersayat-sayat. Anna Hathaway, Jessica Chastain, Michael Caine, dan yang lainnya pun memainkan porsinya dengan sangat baik. Oh, dan ada penampilan dari Matt Damon yang bagi saya merupakan sebuah kejutan karena saya sama sekali tidak tahu dia terlibat di proyek ini (hahah).

All in all, Interstellar merupakan sebuah pencapaian baru bagi Christopher Nolan, atau malah mungkin untuk dunia perfilman saat ini (toh masih terlalu dini untuk menyatakan hal ini, let’s see in the near future (halah)). Dan tidak seperti yang sebagian orang kira, menurut saya, tidak perlulah menjadi seorang jenius di bidang fisika untuk bisa menikmatinya. Cause if you put your mind and heart in the right place, you’re gonna like it.

interstellar posterProducers: Christopher Nolan, Lynda Obst, Emma Thomas Writers: Christopher Nolan, Jonathan Nolan Music: Hans Zimmer Cinematography: Hoyte Van Hoytema Director: Christopher Nolan Cast: Matthew McConaughey, Jessica Chastain, Anna Hathaway, Mackenzie Foy, John Lithgow, Michael Caine, Wes Bentley, David Gyasi, Casey Affleck, Matt Damon

Score: A-

tabularasa

oleh: wanulk

Tabula Rasa merupakan film ketiga dari produser Sheila Timothy dibawah naungan rumah produksi Lifelike Pictures dan merupakan yang pertama dari sutradaranya, Adriyanto Dewo. Film ini disebut-sebut merupakan ‘Film Kuliner’ pertama di Indonesia.

Tabula Rasa bercerita tentang Hans (Jimmy Kobagau) seorang pemuda Papua yang merantau ke Jakarta demi menggapai impiannya sebagai pemain sepakbola. Namun, ketika semuanya tidak berjalan sesuai harapan, Hans ditelantarkan klubnya dan jadi hidup terlunta-lunta di tanah rantau. Di tengah keputus-asaan mendalam yang dialami oleh Hans, takdir mempertemukan dia dengan Mak (Dewi Irawan). Mak adalah seorang wanita Minang pemilik Rumah Makan Padang ‘Takana Juo’ yang dirintisnya bersama kerabat dari kampung halaman, Natsir (Ozzol Ramdan) dan Uda Parmanto (Yayu Unru). Maka dimulailah segalanya.

Tabula Rasa yang mempromosikan dirinya sebagai film kuliner Indonesia mengambil sudut pandang yang unik soal tema yang diangkatnya. Kuliner atau makanan dalam film ini tidak hanya diangkat sebagai selebrasi visual atau kenikmatan saja, tapi jauh lebih dalam lagi. Makanan sebagai salah satu akar budaya Nusantara diperlakukan sebagai sesuatu yang lebih personal oleh karakternya masing-masing. Bahwa makanan disini juga merupakan awal dimana konflik film ini berasal -perdebatan antara Mak dan Uda Parmanto akan kualitas citarasa masakan RM yang merembet ke soal alasan Mak ‘memungut’ Hans dari Jalanan-, pemicu solusi dari permasalahan bercabang yang dihadapi oleh karakter-karakter ini -yaitu Gulai Kepala Ikan Kakap yang sangat sakral bagi Mak. Makanan dalam film Tabula Rasa dijadikan sebagai wadah sentimental dari memori, sarana introspeksi, solusi, dan juga rekonsiliasi. Makanan sebagai itikad baik.

Sebagai kesatuan film, Tabula Rasa sebenarnya tidak menggunakan ‘resep’ yang biasa ditemukan di film lokal ‘sukses’, yang selalu digunakan seolah ‘masakan’ inilah yang hanya bisa diterima dan dinikmati oleh penonton Indonesia. Di film ini tidak ada nama yang kelewat begitu tenar, tidak ada wajah yang terlalu mulus bak porselen, tidak ada cerita kolosal megah dengan konflik besar mendayu-dayu, atau tidak ada ‘cerita inspiratif’ yang lebih banyak berceramah daripada menginspirasi. Di Tabula Rasa, semua berangkat dari kesederhanaan. Tidak ada yang terlihat berlebihan. Konfliknya pun sebenarnya terasa remeh, akan tetapi justru itu yang menjadi kekuatannya. Tabula Rasa tidak terjebak dalam pengembangan konflik yang kelewat melebar dan tidak seusai takaran. Sehingga, walaupun pace dari film ini terkesan lambat, tapi flow-nya masih enak diikuti karena struktur ceritanya baik. Tokoh-tokoh di film ini pun tidak terjebak di stereotip satu karakter saja, semua terlihat apa adanya dan terlihat natural dengan mengambil unsur-unsur asal suku dan budaya mereka. Judul film ini, ‘Tabula Rasa’ yang merupakan wordplay cukup cerdik dari istilah latin Tabula rasa -bahwa manusia diibaratkan seperti kertas putih- juga menjembatani alias memberikan benang merah antara karakter dan plotnya. Tabula Rasa juga tak luput menyisipkan kritik-kritik sosial, pengenalan budaya, dan humor dalam kadar tertentu yang juga tidak berlebihan serta terlihat bersahaja. Kesemua ‘resep’ tersebut diramu dengan pas dan tergolong rapi dalam skrip yang digarap oleh Tumpal Tampubolon.

Dinamika antara tokoh karakter dan film inipun mengalun natural tanpa terlihat dipaksakan. Dengan cast yang sedikit, sangat riskan bagi karakter-karakternya untuk lama-kelamaan terlihat garing berlama-lama di layar. Namun chemistry kuat antar aktor-aktris disini dan kualitas akting mumpuni merekalah yang menyelamatkan film ini dari risiko tersebut. Adriyanto Dewo sebagai sutradara pun melakukan tugas yang cukup baik dalam mengarahkan mereka sehingga karakter-karakter dalam film ini tidak saling membenamkan satu sama lain. Adegan-adegan dalam film ini terasa pas, not out of place, sehingga mood-nya terjaga dengan cukup baik. Ditambah lagi dengan alunan music score dari Indra Perkasa disertai pemilihan lagu yang pas menambah kekuatan dari scene-scene yang ada sehingga bisa semakin mengaduk-aduk ‘rasa’ dari penikmat ketika menontonnya.

All in all, dengan segala alasan yang dijabarkan diatas dan production value yang bukan main-main alias berada diatas rata-rata film lokal lain, Tabula Rasa adalah film Indonesia yang sangat layak tonton and totally worth your Rupiahs to watch. Sebisa mungkin tontonlah film ini di bioskop. Oh, dan jangan lupa mampir ke Rumah Makan Padang terdekat setelahnya. Cheers.

tabularasa_film-20140811-005-kapanlagiProduction Co.: Lifelike Pictures Producer: Sheila Timothy Director: Adriyanto Dewo Writer: Tumpal Tampubolon Music: Indra Perkasa Cast: Dewi Irawan, Jimmy Kobogau, Ozzol Ramdhan, Yayu Unru

Score: B+

?????????????????????????????????????????????????????????????

oleh: Madri

Pada jaman dahulu kala, di daratan yang jauh—sangat jauh dari sini. Hiduplah peri bersayap. Dengan sayapnya yang lebar dan kuat seperti elang, ia menjaga daratan peri yang menyimpan banyakharta karun dari tangan-tangan jahil manusia yang ingin mengambilnya. Pertama kali melihatnya saja, kita langsung tahu bahwa peri ini sangat sakti. Peri itu bernama, Maleficient.

Suatu hari ia bertemu dengan Stefan, seorang anak kecil yang tertangkap basah mencuri harta milik peri. Pertemuan pertama itu berlangsung manis. Mereka pun tumbuh menjadi teman baik. Seiring berjalannya waktu, ada yang tumbuh di antara keduanya, dan pada ulang tahun ke 16, Stefan mencium Maleficient. Mungkin cinta bersemi di antara mereka berdua, mungkin juga tidak, karena tidak lama dari itu, Stefan tak pernah mengunjungi Maleficient lagi.

Musim berganti, ketegangan antara manusia dan bangsa peri memuncak, Raja menyerang daratan peri dan terluka parah karenanya. Dendam, ia menghadiahkan tahta dan anak putrinya pada siapapun yang bisa membunuh Maleficient. Dan Stefan rasa ia mampu melakukannya. Dan dimulailah kisah tragis Maleficient yang belajar tentang, dendam, pengkhianatan dan cinta.

Sisa dari cerita nya seperti yang kita ketahui bersama, Maleficient mengutuk anak Stefan, Aurora agar tidur selamanya pada usianya yang ke 16 dan akan bangun sampai pangeran menciumnya dengan ciuman cinta sejati. Benar, sisanya adalah dongeng yang sudah pasti kita sering dengar, Sleeping Beauty.

Entah merupakan versi keberapa kisah ini diceritakan ulang, kali ini Maleficient merevisi Sleeping Beauty melalui sudut pandang baru, sudut pandang penyihir jahat Maleficient. Tantangannya adalah bagaimana mengubah sebuah villain menjadi seorang hero? Tantangan itu dijawab Robert Stroomberg dengan bantuan skrip dari Linda Woolverton. Dengan cerdik mereka membuat kisah yang dingin ini menjadi tetap hangat. Panggungnya ditata dengan cukup rapih, kesan fantasy dan magical land tertata dengan baik. Mahluk-mahkluk aneh yang jelek tapi ramah siap ikut meramaikan kisah ini.

Maleficient mencoba memberikan ruang simpati penuh kepada penontonnya untuk dapat merasakan apa yang dirasakan karakter film ini. Dari segi dialog memang tidak ada yang istimewa, namun setidaknya film ini ada usaha memberikan alasan-alasan yang masuk akal misalnya mengapa manusia ngotot berperang dengan bangsa peri atau paranoia dari Pangeran Stefan, semua diberikan motif agar cerita lebih berwarna.

Namun sayang debut sutradara Robert Stromberg bukan tanpa celah, film ini kesulitan menjaga pace cerita, bersamaan dengan perubahan-perubahan mendadak yang terjadi pada diri Maleficient, film ini tergesa-gese dalam mengeksekusi bagian akhir dari film, sehingga bagian akhir terasa hambar dan antiklimaks, pesan yang ingin disampaikan pun menjadi samar.

Untung ada Jolie, empat tahun tidak kelihatan di layar bioskop, ia comeback dengan film yang mempunyai karakter yang kuat. Tentu Jolie  bisa unjuk gigi kemampuan aktingnya. Jolie adalah sihir film ini, bahkan dengan dialog-dialog konyol dalam film ini, ia tetap memikat. Dan hal itu dilakukan tanpa mengurangi spotlight bagi para pemain lain. And that is a good thing.

Overall, Maleficient menawarkan suatu kisah cinta tragis di dunia fantasi, kisah ini mungkin sudah sering kita dengar, mungkin klise, tapi menurut saya cukup layak untuk disimak. Beli popcorn, minum soda anda, dan nikmati petualangan di dunia Moors bersama the Angelina Jolie.

hr_maleficent_p


Executive Producer
Sarah Bradshaw, Angelina Jolie Producer Joe Roth Directed by Robert Stromberg Screenplay Linda Woolverton Cinematography Dean Semler Music James Newton Howard CAST Angelina Jolie, Elle Fanning, Shartlo Coopley, Sam Riley, Juno Temple

RATE: B

HTTD

Oleh: Madri

Lima tahun setelah Hiccup (Jay Baruchel) dan naga kesayangannya Toothless berhasil mempersatukan kaum naga dan bangsa viking di Pulau kecil bernama Berk, Berk kini menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi mereka semua. Sekarang para viking tak takut lagi dengan kaum naga, naga menjadi sahabat, binatang peliharaan sampai pekerja yang membantu mereka dalam kehidupan sehari-hari. Karena hal itu Hiccup di umur 20 tahun —yang sekilas seperti Andrew Garfield—, menjadi pahlawan Berk. Stoick (Gerard Butler), ayahnya ingin Hiccup menjadi Kepala Suku menggantikannya. Tapi ia tidak mau, ia ingin menjadi petualang saja, mengeksplorasi tempat baru, memberinya nama aneh seperti “Ketek Gatal” dan memasukkan nya ke dalam petanya.

Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan kalangan penjebak naga yang marah karena menyangka Hiccup dan Toothless adalah penunggang naga bertopeng yang memporak porandakan kapal mereka. Mereka juga marah karena kalau tidak membawa pulang satu nagapun mereka bisa mati dibunuh oleh Drogo! Antagonis yang tak segan-segan membunuh demi kepentingan pribadinya. Sekali lagi Hiccup dan Toothless terseret dalam konflik antara naga dan manusia yang lebih rumit.

How to Train Your Dragon (2010) yang pertama menurut saya adalah salah satu film animasi coming of age terbaik dari Hollywood. Tak ingin mengecewakan penggemar sekuelnya tentu digarap lebih serius, nama-nama seperti, Cate Blanchett dan Kit Harington didapuk untuk jadi pengisi suara. Sedangkan Roger Deakins cinematographer nominasi 11 oscar dipanggil lagi untuk menjadi visual consultant di film ini. Dan hasilnya adalah suatu petualangan audio visual yang benar-benar memanjakan mata.

Animator-animator di How to Train Your Dragon 2 unjuk kebolehan dengan memamerkan puluhan naga-naga dengan beragam warna dan bentuk, glacier licin dan berkilau, naga-naga terbang menembus awan, semua disajikan dengan sangat mantap, breathtaking. Bukan hanya sekali dua kali, para animator film ini benar-benar paham bagaimana memanjakan mata bagi penonton, terutama penonton dewasa. Mereka sangat bekerja keras untuk ini. Visual itu diiringi scoring apik dari John Powell dan original soundtrack dari penyanyi Iceland, Jonsi yang menambah kesan eksotis dan asing dari film ini.

Lain visual lain cerita, keluarga, kebebasan, kekuasaan, tanggung jawab dan pengampunan menjadi tema utama yang ingin disajikan di film ini. Namun sayang sekali hasilnya tidak lebih baik dari yang pertama. Bagian-bagian dari cerita kurang menyatu dengan baik. Selain itu munculnya beberapa karakter baru dalam film ini membuat pacing dan mood cerita menjadi aneh, inginnya semua tokoh mendapat porsi yang pas, alhasil cerita menjadi kurang dalam dan cenderung dangkal, karena hanya membahas kulit luar dari tokoh-tokoh di film ini. Sayang tokoh-tokoh yang interesting hanya bisa mengeluarkan dialog cheesy tanpa memperkaya cerita.

Memang, sihir film ini ada di segi visualnya, detail dan indah melampaui film pertamanya. Walaupun tidak mampu menyamai kualitas secara keseluruhan dari film pertamanya, How to Train Your Dragon 2 menawarkan cukup petualangan seru dan momen-momen hangat khas film animasi keluarga, sangat tepat bagi mereka yang haus petualangan.. asal tidak berharap terlalu banyak.

Producer Bonnie Arnold Director Dean DeBlois Screenplay Dean DeBlois, Cressida Cowell (based on a book) Music John Powell CAST Jay Baruchel, Gerard Buttler, America Ferrera, Jonah Hill, Cate Blanchett, Kit Harington.

RATE : B

x-men

oleh: wanulk

Bercerita tentang usaha X-Men untuk merubah sejarah. Berawal dari keberadaan Sentinel, robot yang diciptakan untuk tujuan memburu mutan yang dirilis pada tahun 1973. 50 tahun kemudian Sentinel akan berburu mutan dan juga manusia yang membantu mutan. Charles Xavier a.k.a Professor X (Patrick Stewart), Erik Lehnsherr a.k.a Magneto (Ian McKellen) dan X-Men mencoba sekuat tenaga untuk menghadapi Sentinel, tetapi Sentinel adalah musuh mengerikan yang mampu beradaptasi dan meniru semua kemampuan mutan. In a very desperate time, Charles memutuskan untuk kembali ke masa lalu dan mengubah keadaan. Professor X meminta bantuan Kitty Pryde (Ellen Page) yang mempunyai kemampuan untuk mengirim alam bawah sadar seseorang ke masa lalunya. Tapi dia hanya bisa mengirim seseorang kembali dalam jangka waktu pendek tertentu, karena jika dia mengirim seseorang kembali lebih lanjut dari itu, itu bisa membahayakan mereka.

Maka dari itu, Logan a.k.a Wolverine (Hugh Jackman) memutuskan bahwa dirinya lah yang akan pergi karena ia mungkin bisa menahannya. Sebelumnya, Charles berpesan kepada Logan untuk mencari Raven (Jenifer Lawrence). Bahwa Raven a.k.a Mystique lah yang bertanggung jawab karena dia akan membunuh creator dari Sentinel, Bolivar Trask (Peter Dinkgale) sehingga karena kejadian itulah proyek Sentinel akhirnya diloloskan. Maka dari itu, Logan harus pergi ke masa lalu dan menemui Charles Xavier muda (James McAvoy) juga Erik Lehnsherr muda (Michael Fassbender) dan meminta mereka untuk membantunya. Tetapi masalahnya; Charles dan Erik pada masa itu tidak seperti mereka yang sekarang…

Bryan Singer membuat film ini dengan semangat untuk merestorasi universe X-Men sejak The Last Stand (digarap dengan kacau oleh Brett Ratner) yang ditinggalkannya dulu akibat proyek Superman Returns. Kesuksesan First Class arahan Matthew Vaughn lah yang membuka segala jalan dan juga posibilitas untuk ‘memperbaiki’ universe X-Men sesuai visi Singer. Apa yang telah dibangun di First Class dan juga sisa-sisa peninggalan dari X-Men trilogy awal yang masih bisa diselamatkan inilah yang menjadi fondasi cukup kokoh untuk Days of Future Past (DoFP). Lantas, apakah Singer dapat menjalankan misinya untuk merestorasi universe X-Men sesuai visinya dapat berhasil? Yes, he did. Saya tau bagaimana proyek ini terdengar sangat ambisius dan bisa jadi bencana di tangan orang yang salah, sama seperti yang saya rasakan di awal. But Singer totally could pull it off. The question is; how? Ada beberapa faktor yang mendukung.

Yang pertama, film ini mengambil arc-story relevan dari komiknya dan mewujudkannya kembali dengan interpretasi berbeda tetapi tetap dengan membawa spirit dan esensi dari ceritanya. Thought provoking & mind-bending plot ini mungkin akan sedikit membingungkan bagi yang tidak familiar dengan konsepnya. Tapi itulah yang menjadi sisi plusnya dimana bangunan cerita yang ada sangat fresh sehingga menarik untuk diikuti dan tidak biasa. Tapi sisi buruknya, tidak semua orang dapat menikmatnya. Bagi orang-orang yang memahami atau sekedar familiar dengan konsep universe X-Men – entah dari komiknya atau sekedar filmnya (terutama pembenci The Last Stand) – akan lebih bisa menikmati film ini lebih dari yang lainnya. DoFP dipenuhi dengan berbagai trivia & inside jokes yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang mengerti referensinya.

Kemudian, DoFP juga dapat menyatukan 2 universe film X-Men yang ada untuk menjadi sebuah kesatuan dengan cara yang elegan dan tidak terlihat dipaksakan. Singer dapat mengambil elemen-elemen yang ada dari masing-masing universe X-Men original trilogy dan prekuelnya, First Class, dan menggabungkannya menjadi satu tanpa terlihat kacau. DoFP dapat bekerja dengan baik walau disertai dengan ensemble cast yang terdiri dari jajaran aktor-aktris dengan nama besar tanpa adanya benturan-benturan karakter yang sebenarnya berpotensi dapat terlihat lebih menonjol atau overshadowing satu sama lain. Karakter-karakternya memiliki peran masing-masing ke dalam perkembangan plotnya dan terasa sama pentingnya. Chemistry yang ada antara karakter-karakter utamanya pun terasa natural dan membuat film ini tetap menarik untuk diikuti.

Overall, bagi saya pribadi, X-Men: Days Of Future Past adalah film terbaik di franchise-nya selama ini. Even arguably one of the best Marvel comic-based movie adaptation to date. Mutants + Superheroes + Time Travel + Quicksilver (uh… I forgot to mention him. He stole every scene he’s in.. Awesome!) + bromance (+ Ellen Page)…. what’s not to love?

xmendofpProducers: Bryan Singer, Simon Kinberg, Hutch Parker, Lauren Shuler Donner Story: Simon Kinberg, Jane Goldman, Matthew Vaughn Screenwriter: Simon Kinberg Director: Bryan Singer Cast: Hugh Jackman, James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence, Nicholas Hoult, Ellen Page, Peter Dinklage, Josh Helman, Shawn Ashmore, Evan Peters, Ian McKellen, Patrick Stewart, Halle Berry, Bing Bing Fan, Omar Sy, Daniel Cudmore

 

 

Score: B++

godzilla_2014

oleh: wanulk

Sebelum berbicara banyak, di sini saya mau memberitahu bahwa saya bukan seorang penggemar fanatik dari Godzilla or Gojira franchise. Saya memang pernah menonton beberapa film dari franchise ini lewat tv swasta atau vcd sewaan dari rental atau laser disc tetangga saya. But I won’t claim myself as a fan yang tahu seluk beluk maupun filosofi hingga segala macam trivia dari franchise ini, sebagaimana saya menontonnya ketika masih kecil membuat saya tidak peka dengan unsur-unsur subtle maupun filosofi yang ada. Yang saya tau dan nikmati pada waktu itu adalah hanya monster-monster (or kaiju(s)) berukuran besar yang bertarung secara spektakuler sehingga membuat kota porak-poranda. So here’s a review of Godzilla dari orang yang sekedar tahu sedikit atau kulit luar franchise-nya saja.

Cerita film ini diawali pada tahun 1999, ketika Janjira Nuclear Plant secara misterius hancur dan memporakporandakan hidup banyak orang, termasuk supervisor pabrik tersebut, Joe Brody (Bryan Cranston). Bertahun-tahun kemudian, anak dari Joe, Ford Brody (Aaron Taylor-Johnson), yang kini seorang US NAVY, harus pergi ke Jepang untuk membantu ayahnya yang terasing dan terobsesi untuk mencari kebenaran insiden tersebut. Eventually, ayah dan anak ini menemukan rahasia penyebab bencana tersebut saat mereka menyaksikan kebangkitan dari monster mengerikan ancaman bagi umat manusia. Di kondisi yang kacau ini, harapan bagi dunia mungkin hanya Godzilla, The King of Monsters, satu-satunya ‘sekutu’ destruktif yang umat manusia miliki… to restore the balance.

Pertama saya mau membahas tentang sisi drama dari film ini. Saya tidak terlalu mengerti komplain orang-orang tentang bagaimana sisi drama film ini adalah let down dan dragging. Justru saya sangat nyaman dengan pace-nya. Yes, it’s just a set up to something much more bigger (well, literally), tapi itu juga bukan sekedar jadi tempelan asal-asalan. I literally cried during the Janjira Nuclear Plant incident. Heartfelt scene antara suami-istri Brody yang diperankan oleh Bryan Cranston dan Julliete Binoche sangat efektif. Saya juga suka bagaimana film ini dapat menangkap dinamika hubungan father-son dengan baik. Bahwa dibalik segala kecanggungan dan jarak yang dibuat oleh keduanya, selalu ada terselip koneksi tidak terlihat antara ayah dan anak, dalam hal ini Joe & Ford Brody. On a bigger note, tema sosial yang diangkat tidak jauh berbeda dengan apa yang coba disampaikan dengan film awal dari franchise Godzilla (tentang kengerian perang dan nuklir, masih relevan juga sampai sekarang) yang membuatnya terlihat pay respect ke seri-seri terdahulunya, which is a good thing.

Okay, sekarang kita bicara mengenai the star himself; Gojira a.k.a Godzilla. Usaha keras Gareth Edwards untuk mengembalikan wibawa Godzilla di mata perfilman barat setelah kegagalan Roland Emmerich di versi Hollywood pertama dari The King of Monsters ini bisa dibilang cukup berhasil. Bahkan dari latar belakang Godzilla-nya saja dibuat secara detail dan se- realistic mungkin dengan batasan-batasan ilmiah yang masih cukup plausible dan synchronizing dengan sejarah faktual yang bisa dibilang cukup cerdas. Pun ada banyak referensi film lawasnya yang digunakan sehingga memunculkan koneksi halus untuk film ini ke franchise-nya. Dan Edwards cukup sabar untuk menahan penampakan Godzilla dengan menggunakan set-up cerita yang flow-nya tidak membosankan sehingga ketika Godzilla muncul… the awesomeness that I couldn’t describe.

Selain itukeputusan Edwards untuk menempatkan Godzilla sebagai Anti-Hero yang bertarung dengan MUTO(s) daripada Godzilla yang sekedar memporakporandakan kota (seperti versi 1998-nya) pun bisa dibilang cukup bagus karena ini bisa menampilkan sisi lain dari Godzilla yang sebenarnya sudah sangat sering ditampilkan di film-film lawas Jepangnya. The final showdown between Godzilla & MUTO pun digarap dengan CGI yang flawless. Bagi yang mengisi masa kecilnya dengan menonton pertarungan Kaiju semacamnya tentu saja akan suka dengan ini. Oh, wait till you see Godzilla does the atomic-breath at the most perfect moment… Yes, It’s as epic as it sounds.

Overall, Godzilla versi Gareth Edwards ini adalah sebuah contoh keberhasilan movie-rebootWith the right amount of drama, nice set-up story, high respect to its original predecessor, and a freaking bad ass final showdown, Godzilla is a hell of an entertainment that will please most hardcore fans, casual fans, and new potential fans. Welcome back, The King of Monsters!

MV5BMTQ0ODgzNjg2MV5BMl5BanBnXkFtZTgwNDkxMzc3MDE@._V1_SY317_CR0,0,214,317_AL_Producers: Bob Duscay, Jon Jashni, Mary Parent, Brian Rogers, Thomas Tull Story: David Callaham Screenwriter: Max Borenstein Cinematographer: Seamus McGarvey Director: Gareth Edwards Cast: Aaron Taylor-Johnson, Ken Watanabe, Bryan Cranston, Elizabeth Olsen, Carson Bolde, Sally Hawkins, Julliete Binoche, David Straithairn, Richard T. Jones

 

 

Score: B+

mmj

oleh: wanulk

Marmut Merah Jambu bercerita tentang Dika (Raditya Dika) yang berkunjung ke rumah cinta pertamanya ketika SMA, Ina (Dina Anjani) dengan membawa 100 origami di hari sebelum pernikahan Ina. Dika bertemu dengan Bapak dari Ina (Tio Pakusadewo). Kepada Bapak Ina, Dika (Christoffer Nelwan) menceritakan tentang usahanya di SMA membuat grup detektif untuk menarik perhatian Ina, bersama Bertus (Julian Liberty), temannya yang sama-sama anak terbuang di sekolah. Dika juga bercerita tentang persahabatannya dengan cewek unik bernama Cindy (Sonya Pandarmawan) di SMA. Lalu, seiring dengan Dika bercerita, seiring itu pula dia sadar: ada kasus di masa lalunya yang belum selesai hingga dia dewasa. Seiring dia berusaha memecahkannya, seiring itu pula dia bertanya, benarkah cinta pertama enggak kemana-mana?

Kali ini Raditya Dika memegang sendiri tampuk penyutradaraan. Itu berarti dia harus mengandalkan visinya sendiri sebagai seorang sutradara untuk menerjemahkan skrip buatannya ke dalam medium gambar bergerak. Secara teori, ini bisa jadi bagus. Lewat film-film sebelumnya, Radit bisa membuktikan diri sebagai seorang konseptor yang cukup baik, walaupun pada eksekusinya tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan.

Pada kenyataannya, dalam debut penyutradaraannya ini, Radit belum bisa menunjukan visinya dengan baik. Film ini terkesan monoton. Arahan Radit terasa kaku, seperti terlalu terpaku akan pakem serta batasan-batasan teoritis. Metode penceritaan yang ia gunakan tidak ekspolaratif dan terkesan kurang kreatif, jadinya terlihat standar-standar saja. Radit seolah belum cukup bisa membangun atmosfer adegan dengan sempurna. Hal ini dibuktikan banyaknya scene yang terlihat unintentionally awkward. Ini patut disayangkan, mengingat skripnya walaupun sederhana tetapi cukup memiliki potensi dan seharusnya bisa dikembangkan lebih dari itu.

Masalah lain adalah jokes-jokes yang ada bersifat repetitif dengan mengandalkan kelakuan Bertus. Oke, ini sebenarnya bukan sesuatu yang buruk. Keberadaan Bertus sebagai comic relief tentu saja memang sudah direncanakan dari awal sebagai pemancing tawa. Tapi kesan yang timbul adalah ketika Bertus seolah menjadi solusi dari segala macam titik flat dalam plotnya. Ini yang berbahaya, bahwa ketika joke Bertus tidak berhasil, film ini seperti kehilangan bahan bakarnya. Karena selain Bertus, karakter-karakter lain yang diperankan aktor dan aktris lain belum bisa mengangkat filmnya.

Christoffer Nelwan sebagai Dika, walaupun chemistry-nya dengan Julian Liberty sebagai Bertus cukup baik, namun belum bisa membawakan karakternya dengan sempurna karena kadang ekspresi komedik dan emosinya ketika drama masih hit & miss. Sonya Pandarmawan sebagai Cindy, while doing a good job sebagai pemanis di layar, masih terbawa-bawa cara akting sinetronnya yang terkadang out of place dari mood adegan yang seharusnya. Kedekatannya dengan 2 karakter utama lain pun seperti dicocok-cocokan saja, pemicunya tak tampak jelas di layar sehingga motivasinya kabur. Kemudian Dina Anjani sebagai pemeran Ina sebagai love interest Radit yang, walaupun sudah diberi banyak macam atribut untuk membuatnya terlihat menarik, karakternya malah terkesan less adorable dari karakter Cindy sehingga memberikan sugesti implisit ke viewers, yang membuat arah konklusinya menjadi not a surprise alias tertebak.

Belum lagi masalah transisi karakter dari masa remaja ke dewasa yang kurang smooth. Dimana perbedaan aktor-aktris yang memerankan karakter dewasanya malah juga mengubah definisi dan pembawaan karakternya menjadi agak berbeda dari karakter remajanya. Ini yang sedikit agak mengganggu.

But aside of all that flaws, Marmut Merah Jambu bukanlah murni sebuah kegagalan. Film ini dapat bekerja dengan baik dalam beberapa hal. Ide besar sederhana yang coba diangkat di filmnya dapat tersampaikan dengan baik lewat konklusinya. Some might say it’s kind of cliché, but it also kind of sweet in a way. Juga komedi yang diangkat cukup dapat mengundang tawa walaupun masih terasa segmented. Toh ini tak jadi soal mengingat Radit sudah paham betul segmentasi pasar dan penyukanya seperti apa. Selain itu, soal pemilihan lagu ‘Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki’ dari Sheila On 7 yang ikonis adalah keputusan yang cukup cerdas mengingat hal  ini dapat menambah kesan nostalgik masa-masa SMA atau remaja lebih terasa. Sisi teknis film ini pun patut diberi apresiasi, walaupun (sekali lagi) terdapat beberapa gambar yang entah kenapa terlihat buram (scene di luar rumah Ina di malam pesta ulang tahunnya), yang seharusnya hal itu tidak terjadi untuk DOP sekelas Yadi Sugandi.

Overall, Marmut Merah Jambu, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah sebuah peningkatan dari film-film Raditya Dika dibawah naungan rumah produksi Starvision. Dengan angka jumlah penonton yang cukup baik, bukan mustahil akan ada kerjasama Radit dan PH ini akan berlanjut dengan sebuah film baru. Dan saya sangat mengharapkan pada kesempatan selanjutnya akan bisa lebih baik lagi.

Marmut_Merah_Jambu_filmProducers: Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Editor: Cesa David Lukmansyah Director of Photography: Yadi Sugandi Writer & Director: Raditya Dika Cast: Raditya Dika, Christoffer Nelwan, Julian Liberty, Sonya Pandarmawan, Tio Pakusadewo, Dina Anjani, Jajang C. Noer, Bucek Depp, Dewi Irawan, Franda, Kamga Mo

 

 

 

Score: C++

 

BMColeh: wanulk

So hello again! Breakfast Movie Club is back from hiatus. Ya, memang akhir-akhir ini ada beberapa hal dan juga kesibukan dari dua pengisi di blog ini yang sedikit menghambat keberlangsungan penulisan resensi. Jadi harap maklum. Tetapi dibalik ketidaktersediaan waktu bagi kami untuk menulis, untungnya kami masih sempat (dan menyempatkan) untuk melihat beberapa film yang nongol di bioskop. Untuk mengisi kekosongan bulan lalu, berikut penulis hadirkan beberapa review singkat dari beberapa film yang sempat menjadi perbincangan hangat beberapa waktu lalu. Yah, kembali dengan resensi keroyokan, but we’ll be back with one movie one review in the next post. So for now, here goes the reviews.
Read More